Pokok Kaidah Fundamental
Bangsaku
PEMBUKAAN UUD 1945
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia
kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu undang - undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasark
kepada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Pokok-Pokok Pikiran Yang Terkandung Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945
1. Pokok Pikiran Pertama :
Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dengan berdasar asas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2.
Pokok Pikiran Kedua ; Negara
hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pokok
pikiran ini menempatkan suatu tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai dalam
Pembukaan, dan merupakan suatu kuasa finalis (sebab tujuan), sehingga dapat
menentukan jalan serta aturan-aturan mana yang harus dilaksanakan dalam
Undang-Undang Dasar untuk sampai pada tujuan itu yang didasari dengan bekal
persatuan.
3. Pokok Pikiran Ketiga ;
Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan
permusyawaratan/perwakilan.
Pokok
pikiran ini dalam ‘pembukaan’ mengandung konsekuensi logis bahwa sistem negara
yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasarkan atas kedaulatan
rakyat dan berdasarkan permusyawaratan/perwakilan
4.
Pokok Pikiran Keempat :
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab
Hal ini
menegaskan pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung
pengertian taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan pokok pikiran
kemanusiaan yang adil dan beradab yang mengandung pengertian menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia atau nilai kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran
keempat itu merupakan Dasar Moral Negara yang pada hakikatnya merupakan suatu
penjabaran dari Sila Kedua Pancasila.
Hubungan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945
Dalam sistem tertib
hukum Indonesia, penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa Pokok Pikiran itu
meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia serta
mewujudkan cita-cita hukum, yang menguasai hukum dasar tertulis (UUD) dan hukum
dasar tidak tertulis (convensi), selanjutnya Pokok Pikiran itu dijelmakan dalam
pasal-pasal UUD 1945. Maka dapatlah disimpulkan bahwa suasana kebatinan
Undang-Undang Dasar 1945 tidak lain dijiwai atau bersumber pada dasar filsafat
negara Pancasila. Pengertian inilah yang menunjukkan kedudukan dan
fungsi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Rangkaian isi, arti
makna yang terkandung dalam masing-masing alinea dalam pembukaan UUD 1945,
rnelukiskan adanya rangkaian peristiwa dan keadaan yang berkaitan dengan
berdirinya Negara Indonesia melalui pernyataan Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia. Adapun rangkaian makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
adalah sebagai berikut:
1. Rangkaian peristiwa dan
keadaan yang mendahului terbentuknya negara, yang
merupakan rumusan dasar - dasar pemikiran
yang menjadi latar belakang pendorong bagi Kemerdekaan kebangsaan Indonesia
dalam wujud terbentuknya negara Indonesia (alinea I, II dan III Pembukaan).
2.
Yang merupakan ekspresi
dari peristiwa dan keadaan setelah negara Indonesia terwujud (alinea IV
Pembukaan).
Perbedaan pengertian
serta pemisahan antara kedua macam peristiwa tersebut ditandai oleh pengertian
yang terkandung dalam anak kalimat, "Kemudian daripada itu" pada
bagian keempat Pembukaan UUD 1945, sehingga dapatlah ditentukan sifat hubungan
antara masing-masing bagian Pembukaan dengan Batang Tubuh UUD 1945, adalah
sebagai berikut:
1
Bagian pertama, kedua
dan ketiga Pembukaan UUD 1945 merupakan segolongan
pernyataan yang tidak mempunyai hubungan 'kausal organis' dengan
Batang Tubuh UUD 1945.
2
Bagian keempat, Pembukaan UUD 1945 mempunyai hubungan yang bersifat 'kausal
organis' dengan Batang Tubuh UUD 1945, yang mencakup beberapa segi
sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar
ditentukan akan ada.
b.
Yang diatur dalam UUD,
adalah tentang pembentukan pemerintahan negara yang memenuhi pelbagai
persyaratan dan meliputi segala aspek penyelenggaraan negara.
c.
Negara Indonesia ialah
berbentuk Republik yang berkedaulatan rakyat.
d.
Ditetapkannya dasar
kerokhanian negara (dasar filsafat negara Pancasila).
Atas dasar sifat-sifat
tersebut maka dalam hubungannya dengan Batang Tubuh UUD 1945, menempatkan
pembukaan UUD 1945 alinea IV pada kedudukan yang amat penting. Bahkan boleh
dikatakan bahwa sebenamya hanya alinea IV Pembukaan UUD 1945 inilah yang
menjadi inti sari Pembukaan dalam arti yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana
termuat dalam penje-lasan resmi Pembukaan dalam Berita Republik Indonesia tahun
II, No. 7, yang hampir keseluruhannya mengenai bagian keempat Pembukaan UUD
1945. (Pidato Prof. Mr. Dr. Soepomo tanggal 15 Juni 1945 di depan rapat Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia)
Hubungan antara Pembukaan UUD 1945 dengan
Pancasila
Hubungan antara Pembukaan UUD 1945 adalah bersifat timbal balik sebagai
berikut:
1
Hubungan Secara Formal
Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal di dalam
pembukaan UUD 45, maka Pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum
positif. Dengan demikian tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada
asas-asas sosial, ekonomi, politik akan tetapi dalam perpaduannya dengan
keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural,
religius dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam Pancasila.
Jadi berdasarkan tempat terdapatnya Pancasila secara formal dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a.
Bahwa rumusan Pancasila
sebagai Dasar Negara Republik Indonesia adalah seperti yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
b.
Bahwa Pembukaan
UUD 1945, berdasarkan pengertian ilmiah. merupakan Pokok Kaidah
Negara yang Fundamental dan terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam
kedudukan yaitu:
a)
Sebagai dasamya, karena
Pembukaan UUD 1945 itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya
tertib hukum Indonesia.
b)
Memasukkan dirinya di
dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi.
c.
Bahwa dengan demikian
Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan berfungsi, selain sebagai Mukadimah dari
UUD 1945 dalam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, juga berkedudukan sebagai
suatu yang bereksistensi sendiri, yang hakikat kedudukan hukumnya berbeda
dengan pasal-pasalnya. Karena Pembukaan UUD 1945 yang intinya adalah Pancasila
adalah tidak tergantung pada Batang Tubuh UUD 1945, bahkan sebagai sumbernya.
d.
Bahwa Pancasila dengan
demikian dapat disimpulkan mempunyai hakikat, sifat, kedudukan dan fungsi
sebagai Pokok Kaidah Negara yang fundamental, yang menjelmakan dirinya sebagai
dasar kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal
17 Agustus 1945.
e. Bahwa Pancasila sebagai
inti Pembukaan UUD 1945, dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap
dan tidak dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara
Republik Indonesia.
2
Hubungan Secara Material
Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila selain
hubungan yang bersifat formal, sebagaimana
dijelaskan di atas juga hubungan secara material sebagai berikut.
Bilamana kita tinjau kembali proses perumusan
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, maka secara kronologis, materi yang dibahas
oleh BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila baru kemudian
Pembukaan UUD 1945. Setelah pada sidang pertama Pembukaan UUD 1945 BPUPKI
membicarakan dasar filsafat negara Pancasila berikutnya tersusunlah Piagam
Jakarta yang disusun oleh Panitia 9, sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD
1945.
Jadi berdasarkan urut-urutan tertib hukum Indonesia
Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai tertib hukum yang tertinggi, adapun tertib
hukum Indonesia bersumberkan pada Pancasila, atau dengan lain perkataan
Pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia. Hal ini berarti .secara
material tertib hukum Indonesia dijabarkan dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia meliputi
sumber nilai, sumber materi sumber bentuk dan sifat.
Selain itu dalam hubungannya dengan hakikat dan
kedudukan Pembukaan UUD 1945 sebagai Pokok Kaidah negara yang Fundamental, maka
sebenarnya secara material yang merupakan esensi atau inti sari dari Pokok Kaidah
negara fundamental tersebut tidak lain adalah Pancasila (Notonagoro, tanpa
tahun : 40).
3
Hubungan Antara
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Proklamasi 17 Agustus 1945
Sebagaimana telah disebutkan dalam ketetapan MPRS/MPR,
bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan satu kesatuan dengan Proklamasi 17 Agustus
1945, oleh karena itu antara Pembukaan dan Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak
dapat dipisahkan. Kebersatuan antara Proklamasi dengan Pemburkaan UUD 1945
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Disebutkannya kembali
pernyataan Proklamasi Kemerdekaan dalam alinea ketiga Pembukaan menunjukkan
bahwa antara Proklamasi dengan Pembukaan merupakan suatu rangkaian yang tidak
dapat dipisah-pisahkan.
2) Ditetapkannya Pembukaan
UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan ditetapkannya UUD,
Presiden dan Wakil Presiden merupakan realisasi tindak lanjut dari Proklamasi.
3) Pembukaan UUD 1945 pada
hakikatnya adalah merupakan suatu pernyataan kemerdekaan yang lebih terinci
dari adanya cita-cita luhur yang menjadi semangat pendorong ditegakkanya
kemerdekaan, dalam bentuk Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur dengan berdasarkan asas kerokhanian Pancasila.
Berdasarkan sifat
kesatuan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, maka sifat hubungan antara Pembukaan dengan Proklamasi adalah sebagai
berikut:
Pertama, memberikan penjelasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi pada tanggal 17
Agustus 1945, yaitu menegakkan hak kodrat dan hak moral dari setiap bangsa akan
kemerdekaan, dan demi inilah maka Bangsa Indonesia berjuang terus menerus
sampai bangsa Indonesia mencapai pintu gerbang kemerdekaan (Bagian pertama dan
kedua Pembukaan).
Kedua, memberikan penegasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945,
yaitu bahwa perjuangan gigih bangsa Indonesia dalam menegakkan hak kodrat dan
hak moral itu adalah sebagai gugatan di hadapan bangsa-bangsa di dunia terhadap
adanya penjajahan atas bangsa Indonesia, yang tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Bahwa perjuangan bangsa Indonesia itu
telah diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan kemudian bangsa
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya (Bagian ketiga Pembukaan).
Ketiga, Memberikan pertanggungjawaban terhadap dilaksanakan Proklamasi 17 Agustus
1945, yaitu bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia yang diperoleh melalui
perjuangan luhur, disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi sehjruh rakyat Indonesia (Bagian keempat Pembukaan UUD
1945).
Penyusunan UUD ini untuk
dasar-dasar pembentukan pemerintahan segara Indonesia dalam melaksanakan tujuan
negara, yaitu melindungi genap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan sejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (tujuan ke
dalam). untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi
dan adilan sosial (tujuan ke luar atau tujuan internasional).
Proklamasi pada
hakikatnya bukanlah merupakan tujuan, melainkan prasyarat untuk tercapainya tujuan
bangsa dan negara, maka proklamasi memiliki dua macam makna sebagai berikut.
1. Pernyataan bangsa
Indonesia baik kepada diri sendiri, maupun kepada dunia luar bahwa bangsa
Indonesia telah merdeka.
2. Tindakan-tindakan yang
segera harus dilaksanakan berhubungan dengan pernyataan kemerdekaan tersebut.
Seluruh makna Proklamasi
tersebut dirinci dan mendapat pertanggungjawaban dalam Pembukaan UUD
1945,sebagai berikut.
1. Bagian pertama
Proklamasi. mendapatkan penegasan dan penjelasan pada bagian pertama sampai
dengan ketiga Pembukaan UUD 1945.
2. Bagian kedua Proklamasi,
yaitu suatu pembentukan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 aline IV. Adapun prinsip-prinsip
negara yang terkandung dalam Pembukaan tersebut meliputi empat hal, pertama :
tujuan negara yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan negara, kedua
: ketentuan diadakannya UUD negara, sebagai landasan konstitusional
pembentukan pemerintahan negara, ketiga : bentuk negara
Republik yang berkedaulatan rakyat, dan keempat : asas
kerokhanian atau dasar filsafat negara Pancasila.
Berpegang pada sifat
hubungan antara proklamasi 17 Agustus dengan Pembukaan UUD 1945 yang tidak
hanya menjelaskan dan menegaskan akan tetapi juga
mempertanggungjawabkan Proklamasi, maka hubungan itu tidak hanya
bersifat fungsional korelatif, melainkan juga bersifat kausal orgtnis. Hal ini
menunjukkan hubungan antara Proklamasi dengan Pembukaan merupakan suatu
kesatuan yang utuh, dan apa yang terkandung dalam pembukaan adalah merupakan
amanat dari seluruh Rakyat Indonesia tatkala mendirikan negara dan untuk
mewujudkan tujuan bersama. Qleh karena itu merupakan suatu tanggung jawab moral
bagi seluruh bangsa untuk memelihara dan merealisasikannya (Darmodihardjo, 1979
: 232,233).
Mewujudkan Cita-Cita dan Tujuan Negara
Indonesia
Beberapa hari
belakangan ini, kerusuhan yang berlatar belakang agama, kembali terjadi di
berbagai daerah di Indonesia. Kasus kekerasan terakhir di Cikeusik, Temanggung,
paket bom di Jakarta, dan bukan tidak mungkin
akan muncul di daerah lainnya, patut diwaspadai oleh masyarakat kita. Melihat
kejadian kekerasan ini, kita memang kembali dituntut untuk meneguhkan kembali
maksud cita-cita negara Pancasila yang plural dan menghormati perbedaan,
termasuk menolak segala bentuk kekerasan yang terjadi di negara kita.
Sesungguhnya, Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia, telah mencakup banyak hal, termasuk
tujuan utama berdirinya negara ini. Sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan
UUD 1945, tujuan negara kita adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan ini kemudian
dicita-citakan dengan didasarkan pada lima (5) sila yang kita kenal dengan
Pancasila.
Cita-cita Negara
Pancasila, sebagaimana dirintis dasar-dasar filosofisnya oleh the
founding fathersmerupakan sumber nilai dan filosofi bangsa sebagaimana
terumuskan dalam lima (5) silanya. Pancasila sebagai ideologi
bangsa menegaskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler, tetapi
juga bukan negara agama. Indonesia adalah negara yang berKetuhanan,
berPerikemanusiaan, yang mengedepankan harmoni dan persatuan bangsa, menjunjung
tinggi musyawarah dalam bingkai demokrasi, dan mengedepankan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila yang dicita-citakan oleh the
founding fathers, juga merupakan pondasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, menjadi pilar utama diantara empat pilar yang
sedang disosialisasikan oleh MPR. Keempat pilar itu adalah Pancasila, Undang
Undang Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Keempat pilar ini adalah wujud dari peningkatan pemahaman
kita terhadap sistem politik ketatanegaraan.
Sebelum Era
Reformasi,Pancasila memang pernah ditempatkan sebagai ideologi yang statis,
eksklusif, monolitik, serta menutup ruang dialog bagi kebhinekaan (keberagaman)
pandangan. Pancasila sebagai ideologi bangsa mengarah pada penafsiran tunggal
dengan tujuan untuk meligitimasi kekuasaan. Pada masa itu, oleh
berbagai kalangan, bahkan penguasa, Pancasila seringkali dijadikan sebagai alat
pukul politik (political hammer) terhadap perbedaan pendapat
atau pandangan. Untuk melegitimasi kekuasaan, ditetapkan TAP MPR No. V/MPR/1973
dan TAP MPR No. IX/MPR/1978 yang menegaskan secara formal bahwa “Pancasila
sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di
Indonesia”. Untuk menguatkan legitimasi kekuasaan pula, dilakukanlah Penataran
P4 (yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan Pengamalan Pancasila/Eka Prasetya Pancakarsa) dan penetapan tentang
Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, yang pada akhirnya
memunculkan penafsiran tunggal atas azas Pancasila. UU.
No. 8 tahun1985Tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang mewajibkan
setiap Organisasi Kemasyarakatan untuk menggunakan satu azas, yaitu azas
Pancasila pada akhirnya memecah beberapa Ormas, karena pada dasarnya mereka
sudah memiliki azas organisasi misalnya azas agama (azas islam, Kristen dll),
azas nasionalis dan sebagainya.
Pada Era Reformasi,
kesadaran terhadap arti penting Pancasiladijadikan pertimbangan untuk mencabut
berbagai TAP tersebut. Keluarnya TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan
TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang P4/ Eka Prasetya Pancakarsa dan tidak berlaku
lagi TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978, membuktikan bahwa
penafsiran terhadap cita-cita negara Pancasila memang perlu direvitalisasi
kembali. Namun demikian, mengingat era reformasi mengagungkan semangat
demokratisasi, keterbukaan dan kebebasan, spirit dasar Pancasila harus tetap
dijaga. Spirit Pancasila yang dimaksud adalah bahwa perbedaan itu bisa
benar-benar diwujudkan sebagai sebuah rahmat Tuhan, sehingga perbedaan yang ada
bukan menjadi sumber perpecahan dan kekerasan.
Untuk menjadikan
nilai-nilai Pancasila sebagai arah pada perjalanan bangsa saat ini, maka kita
harus mengambil makna sejarah bangsa sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang
sebenarnya merekomendasikan agar Pancasila diposisikan sebagai ideologi
terbuka atau ideologi yang inklusif,yaitusuatu ideologi bangsa
yang dinamis, adaptif, aktual, dan hidup. Konsekuensinya, segenap permasalahan
bangsa harus dapat dijawab dengan perspektif Pancasila kita –suatu perspektif
yang hadir melalui proses dialektika segenap anak bangsa yang ber-Pancasila.
Dalam era reformasi ini
pula, Pancasila harus diaktualisasikan nilai-nilainya di tengah-tengah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reaktualisasi nilai-nilai
tersebut, ditumbuhkan dengan membuka kembali kesadaran dan komitmen untuk
menempatkan Pancasila sebagai konsensus nasional, pijakan dasar dalam
melangkah, dan sebagai common platform yang mempersatukan
keberagaman kita sebagai bangsa. Pancasila adalah titik temu (bukan
titik tengkar/mempertajam perbedaan). Konsekwensinya, agar nilai-nilai
Pancasilamenjadi arah bagi perjalanan bangsa, maka segenap perundang-undangan,
termasuk peraturan-peraturan daerah, harus merujukpada spirit Pancasila
dan merujuk pada konstitusi UUD 1945. Tidak boleh ada undang-undang,
peraturan-peraturan pemerintah, perda-perda yang “bermasalah”, karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks
ini negara harus tegas untuk meluruskan, manakala terdapat peraturan
perundang-undangan “yang bermasalah”. Apalagi sekarang sudah ada institusi
Mahkamah Konstitusi (MK), yang semakin dituntut untuk proaktif dalam memperkuat
ketaatan kita semua dalam berkonstitusi.
Pancasila yang menjiwai
Pembukaan UUD 1945, yang menjadi dasar dalam tujuan kita berbangsa dan
bernegara, dalam tataran implementasinya harus mengarah kepada terwujudnya
cita-cita NKRI yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinnekaan. Oleh karenanya,
lembaga-lembaga negara terkait, terutama pemerintah, tidak boleh
ragu-ragu dalam menyikapi berbagai fenomena yang berkembang dalam
masyarakat yang ditengarai bertentangan dengan Pancasila dan sendi-sendi
bangsa. Segala tindakan yang melawan konstitusi dan hukum, lebih-lebih yang
bersifat anarkhis dan memecah belah bangsa, tentu harus diselesaikan dengan
tegas pemerintah dan perangkat hukum melalui jalur hukum yang berkeadilan dan
beradab.
Menjawab Tantangan
Dalam memperkuat konsolidasi
demokrasi, tantangan yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita,
memperlihatkan bahwa integrasi bangsa semakin dipertaruhkan oleh hadirnya
berbagai tantangan internal dan eksternal. Secara internal, identitas
Keindonesiaan kita yang berdasarkan Pancasila, terus diuji: bagaimana substansi
Pancasila mampu terefleksikan dengan baik di tengah-tengah masyarakat dan
bangsa. Secara eksternal, kita semakin dihadapkan pada fenomena
dinamika globalisasi berikut dampak-dampaknya yang harus dapat kita respons dengan
tepat. Kita harus mampu hadir dan berkompetisi di tataran global, dengan
kelebihan-kelebihan yang kita miliki.
Menjawab kedua
tantangan tersebut, tentu saja, perlu penegasan kembali hal-hal seperti:
menumbuhkan kesadaran kolektif dan komitmen bersama terhadap Pancasila sebagai
sumber nilai/filosofi bangsa, sebagai platform bersama kita
semua dalam meniti masa depan bangsa; perlunya digalakkan kembali sosialisasi
nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah masyarakat, dengan melibatkan
instrumen-instrumen negara, namun dengan pendekatan yang lebih tepat, tidak
bersifat indoktrinatif, selaras dengan tantangan zaman –dimana Pancasila harus
dipandang sebagai ideologi yang terbuka; Pancasila harus ditempatkan sebagai
spirit dasar dalam pembentukan perundang-undangan dan berbagai peraturan di
bawahnya. Tidak boleh ada UU dan peraturan-peraturan di bawahnya yang
bertentangan dengan konstitusi kita. Sebaliknya, Pancasila harus ditempatkan
sebagai rujukan dasar dalam menyelesaikan permasalahan bangsa.
Hasil
perjuangan kemerdekaan itu terjelma dalam wujud suatu Negara Indonesia.
Menyusun suatu Negara atas kemampuan dan kekuatan sendiri dan selanjutnya untuk
menuju cita-cita bersama yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tujuan
Nasional Negara Republik Indonesia tertuang dalam Alinea Keempat, disebutkan
bahwa “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial …”.
Berdasarkan
alinea tersebut, tujuan nasional yang ingin dicapai Negara Republik Indonesia
adalah sebagai berikut.
1.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
2.
Memajukan kesejahteraan umum.
3.
Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Dalam
rangka perwujudan cita-cita dan tujuan nasional tersebut, beberapa upaya yang
dapat dilakukan negara, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Memberikan kepastian dan
perlidungan hukum terhadap semua warga negara tanpa diskriminatif.
2. Menyediakan fasilitas umum yang
memadai yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
3. Menyediakan sarana pendidikan
yang memadai dan merata di seluruh tanah air.
4. Memberikan biaya pendidikan
gratis terhadap seluruh jenjang pendidikan bagi seluruh warga negara.
5. Menyediakan infrastruktur serta
sarana transportasi yang memadai dan menunjang tingkat perekonomian rakyat.
6. Menyediakan lapangan kerja yang
dapat menyerap jumlah angkatan kerja dalam rangka penghidupan yang layak bagi
seluruh warga negara.
7. Mengirimkan pasukan perdamaian
dalam rangka ikut serta berpartisipasi aktif dalam menjaga dan memelihara
perdamaian dunia.
Kedaulatan
Rakyat dalam Konteks Negara Hukum
Penegasan kedaulatan rakyat dalam konteks negara hukum
Indonesia termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut: “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, Ayat (2)
dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, Ayat (3).
Dengan demikian, kedaulatan
berada di tangan rakyat dan segala sikap tindakan yang dilakukan ataupun
diputuskan oleh alat negara dan masyarakat haruslah didasarkan pada aturan
hukum.
Dalam konteks negara hukum, kedaulatan rakyat Indonesia didelegasikan
melalui peran lembaga perwakilan yang ada dalam hal ini adalah alat kelembagaan negara dengan menggunakan
sistem perimbangan kekuasaan “check and balances” antarbadan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Khusus untuk kekuasaan membuat undang-undang masih
terdapat kerja sama antara badan eksekutif dan legislatif. Adapun, bentuk
pemisahan kekuasaan dengan menggunakan sistem perimbangan, dibagikan kepada
alat-alat kelengkapan negara yang terdiri atas MPR, DPR dan DPD, Presiden, MA
dan MK, serta BPK. MPR memiliki kekuasaan untuk menetapkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia. DPR dan DPD memiliki kekuasaan untuk membentuk
undang-undang. Presiden memiliki kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. MA
dan MK memiliki kekuasaan dalam bidang peradilan. BPK memiliki kekuasaan dalam
bidang pengawasan keuangan.
Gambar Mahkamah Konstitusi merupakan benteng terakhir dalam mendapat keadilan,
khususnya berkenaan dengan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dalam prinsip kesamaan dihadapan hukum “equality before the law”
perwujudan kedaulatan rakyat
diimplementasikan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 27 Ayat (1) yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa Negara Republik Indonesia menjamin adanya kesamaan dihadapan
hukum dan pemerintahan terhadap warga negara. Keberadaan warga negara haruslah
mendukung keberadaan hukum di Negara Republik Indonesia serta pemerintahan yang
sedang menjalankan hukum tersebut.
Oleh karena itu, dalam rangka mendorong terciptanya kedaulatan rakyat
berjalan seiring dengan kedaulatan hukum maka diperlukan pengawasan oleh badan
yudikatif, terhadap penggunaan kekuasaan yang tidak berdasarkan atas hukum. Selain itu, pengawasan oleh badan yudikatif dilakukan dalam
rangka memberikan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap sikap dan
tindakan pemerintah yang melanggar hak asasi manusia.
Beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut, di antaranya
adalah sebagai berikut.
1. Efektivitas dan efisiensi peran lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
2. Pelaksanaan prinsip kesamaan di dalam hukum dan pemerintahan “equality
before the law” bagi seluruh warga negara Indonesia.
3. Adanya jaminan negara terhadap perlindungan HAM bagi warga negara
Indonesia.
4. Adanya supremasi hukum dalam penyelenggraan kedaulatan rakyat.
5. Penyelenggaran pemerintah sebagai amanat kedaulatan rakyat berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan hukum
yang berlaku.
6. Penyelenggaran proses peradilan administrasi yang bebas dan mandiri.
7. Penyelenggaran Pemilu sebagai perwujudan demokrasi diselenggarakan
secara Luber (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia) dan Jurdil (Jujur
dan Adil).
Partisipasi
Aktif dalam Perdamaian Dunia
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa salah
satu tujuan nasional yang ingin dicapai Negara Republik Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, alinea keempat, yaitu “...Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Hal ini
menunjukkan Negara Indonesia menekankan pentingnya partisipasi aktif bangsa
dalam tata pergaulan dunia internasional.
Dalam
tata pergaulan internasional, perjuangan bangsa dilaksanakan atas dasar
semboyan “percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri”.
Dengan semboyan ini Bangsa Indonesia mampu menjalin hubungan dengan
negara-negara lain di dunia secara baik. Berdasarkan hal tersebut dan dalam
rangka menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera Pemerintah
Indonesia mengambil kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Bebas,
artinya bebas menentukan sikap dan pandangan terhadap masalah-masalah
internasional dan terlepas dari ikatan kekuatan-kekuatan raksasa dunia yang
secara ideologis bertentangan (Timur dengan faham Komunisnya dan Barat dengan
faham Liberalnya).
Aktif,
artinya
dalam politik luar negeri senantiasa aktif memperjuangkan terbinanya perdamaian
dunia. Aktif memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan. Aktif memperjuangkan
ketertiban dunia. Aktif ikut serta menciptakan keadilan sosial dunia.
Perwujudan
politik Indonesia yang bebas dan aktif, dapat kita lihat pada contoh berikut
ini.
1. Penyelenggaraan
Konferensi Asia-Afrika Tahun 1955, yang melahirkan semangat dan solidaritas
negara-negara Asia-Afrika yang kemudian melahirkan Deklarasi Bandung.
2. Keaktifan
Indonesia sebagai salah satu negara pendiri Gerakan Non- Blok Tahun 1961 yang
berusaha membantu dunia internasional untuk meredakan ketegangan perang dingin
antara Blok Barat dan Blok Timur.
3. Indonesia
aktif dalam merintis dan mengembangkan organisasi di kawasan Asia Tenggara
(ASEAN).
4.
Ikut
aktif membantu penyelesaian konflik di Kamboja, perang saudara di Bosnia,
pertikaian dan konflik antara pemerintah Filipina dan Bangsa Moro.
Politik
luar negeri Indonesia yang bebas aktif diabdikan kepada kepentingan nasional,
terutama untuk kepentingan stabilitas dan kelancaran pembangunan di segala
bidang. Dengan demikian, politik luar negeri Indonesia, antara lain bertujuan
sebagai berikut.
1. Membentuk satu negara Republik
Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan negara kebangsaan yang demokratis
dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Marauke.
2. Membentuk satu masyarakat yang
adil dan makmur material dan spiritual dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. Membentuk satu persahabatan yang
baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama sekali
dengan negara-negara Afrika dan Asia. Persahabatan tersebut dibentuk atas dasar
kerja sama untuk membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan
kolonialisme menuju kepada perdamaian dunia yang abadi.
Menurut
Mohammad Hatta dalam bukunya Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia,
tujuan politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Mempertahankan kemerdekaan bangsa
dan menjaga keselamatan negara.
2. Memperoleh barang-barang yang
diperluakan dari luar negeri untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
3. Meningkatkan perdamaian internasional dan memperoleh
syarat-syarat yang diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
4. Meningkatkan persaudaraan
antarbangsa sebagai pelaksanaan cita-cita yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam
rangka membangun partisipasi aktif dalam perdamaian dunia, beberapa hal dapat
dilakukan Bangsa Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menjalankan
politik damai dan bersahabat dengan segala bangsa atas dasar saling menghargai
dengan tidak mencampuri urusan negara lain.
Gambar : Indonesia mengirimkan Pasukan
PBB ke daerah konflik merupakan perwujudan partisipasi aktif dalam perdamaian
dunia.
2. Menegaskan
arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif serta berorientasi pada
kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang,
mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak penjajahan, dan meningkatkan
kemandirian bangsa, serta memiliki kerja sama internasional bagi kesejahteraan
rakyat.
3. Bangsa
Indonesia memperkuat sendi-sendi hukum internasional dan organisasi
internasional untuk menjamin perdamaian yang kekal dan abadi.
4. Meningkatkan
kerja sama dalam segala bidang dengan negara tetangga yang berbatasan langsung
dan kerja sama kawasan ASEAN untuk memelihara stabilitas, melaksanakan
pembangunan, dan meningkatkan kesejahteraan.
5. Meningkatkan
kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas,
terutama dalam menyongsong pemberlakuan AFTA, APEC, dan WTO.
6. Meningkatkan
kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi
proaktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia
internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara,
serta kepentingan Indonesia, dan memanfaatkan setiap peluang positif bagi
kepentingan nasional.
7. Meningkatkan
kualitas diplomasi baik regional maupun internasional dalam rangka stabilitas,
kerja sama, dan pembangunan kawasan.
Sumber :
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kelas X
kurikulum 2013. Jakarta: 2014
http://www.slideshare.net/dwierri/kewarganegaraan-pancasila-sebagai-citacita-moral
http://pustakailmuhukum.blogspot.com/p/kedaulatan-ilmu-negara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar